Buku klasik dalam studi tentang Indonesia ini disebut-sebut sebagai salah satu yang paling berpengaruh di duni akajian kebudayaan dan terus menimbulkan pembahasan, perdebatan akademis serta menginspirasi kajian baru di tingkat internasional maupun nasional. Bahkan baru-baru ini journal of social issues in southeast Asia menyatakannya sebagai the most influential books of southeast Asian studies. Buku ini berasal dari disertasi penulis berdasarkan penelitian di jawa pada 1952-1954. Penulis mencoba menyimpang dari tradisi antropologi umumnya yang memberi perhatian utama pada komunitas kecil petani atau penggembala, juga suku terasing yang cenderung menghilang. Suatu kota kecil di Jawa Timur, disebut Modjokuto, dipilihnya untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tersebut, karena kota kecil itu mempunyai penduudk yang melek huruf dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. di Modjokuto terjadi benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme dan tradisi animisme berbaur dalam satu sistem sosial.
Dari penelitian empiris dengan kombinasi analisis dan spekulasi yang jarang digunakan untuk memahami arti makna Jawa dan kebudayaannya, penulis pun dijuluki penemu ilmu pengetahuan baru: antropologi spekulatif. Lebih jauh, penulis dinyatakan ikonoklast yang menghancurkan demikian banyak patung berhala dalam studi kebudayaan. Penulis bersinar sebagai ilmuwan ahli sejarah dan kebudayaan Indonesia (khsusnya Jawa) juga salah seorang teoritikus antropologi paling terkemuka di dunia akademis. Itu semua berawal dari buku dimana penulis dengan cerdas dan kratif mampu menggambarkan "peta budaya" yang dibentuk oleh warga dari konflik dalam kepercayaan, begitu juga persamaan serta kerukunan, lantas, ide kelakuan beragama dalam kebudayaan jawa yang dibagi menjadi abangan, santri, priyayi. Akhirnya melalui kajian menyeluruh tentang agama Jawa ini pembaca diajak menelusuri seluk beluk dan kedalaman kehidupan spiritual Jawa serta masalah integrasi politik dan sosial yang dicerminkan dalam agama, seraya menyadari bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi.
Share To:

Nurul Shoimah

Post A Comment: